Pemerintah pusat telah memangkas alokasi dana transfer ke daerah (TKD) dalam RAPBN 2026 menjadi Rp650 triliun, turun drastis dari Rp919 triliun pada APBN 2025. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ekonom, yang menilai pemangkasan tersebut berdampak signifikan terhadap fiskal daerah.
Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, mengungkapkan penurunan sekitar 20 persen ini sangat tajam. Ia menekankan bahwa tren sebelumnya menunjukkan peningkatan belanja pemerintah pusat selalu diiringi peningkatan alokasi untuk daerah. Penurunan ini, menurut Tauhid, akan membatasi ruang fiskal pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di wilayah yang sangat bergantung pada belanja pemerintah. Ia khawatir target pembangunan daerah, termasuk visi kepala daerah dan mandat dari pusat, akan terhambat. Lebih lanjut, Tauhid menyoroti bahwa sebagian besar TKD selama ini digunakan untuk belanja pegawai, sehingga potensi dampak lanjutan terhadap tenaga honorer pun perlu diwaspadai akibat efisiensi yang lebih ketat.
Tauhid juga mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat yang akan langsung menangani sejumlah program seperti irigasi, persampahan, dan program Makan Bergizi Gratis. Ia berpendapat, tidak semua program tersebut perlu ditarik ke pusat, karena beberapa di antaranya lebih tepat dikelola di tingkat daerah.
Sementara itu, Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin, melihat dampak penurunan TKD akan bervariasi antarwilayah, bergantung pada struktur ekonomi masing-masing daerah. Ia mencontohkan kasus Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang mengalami penurunan anggaran keistimewaan hingga 50 persen, namun tetap tergolong moderat jika dibandingkan dengan PDRB DIY. Ia menyoroti bahwa magnitude dampak yang dirasakan akan berbeda-beda di setiap daerah, sehingga kebijakan penyesuaian diri juga akan bervariasi.

0 Komentar