Harga beras di pasaran masih berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) meskipun stok beras terbilang melimpah. Para pengamat menilai pemerintah kurang tepat sasaran dalam kebijakannya, khususnya terkait HET dan lemahnya operasi pasar.
Direktur Center for Sustainable Food Studies Unpad, Ronnie S Natawidjaja, menyatakan bahwa pemerintah terlalu berfokus pada pengaturan HET tanpa memperhatikan pengendalian pasokan yang memadai. Ia mengkritik kebijakan HET beras yang diatur dalam Perbadan Nomor 5 Tahun 2024, dengan harga Rp 12.500 per kg untuk beras medium dan Rp 14.900 per kg untuk beras premium di Jawa, Lampung, dan Sumatra Selatan. Ronnie menilai rencana penghapusan HET beras medium dan premium tidak tepat, dan menekankan perlunya analisis yang lebih komprehensif mengenai pengendalian stok pangan oleh Bulog untuk mencapai HET yang ditetapkan di pasaran.
Pengamat pertanian, Khudori, menambahkan bahwa operasi pasar melalui beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) belum efektif. Hingga 22 Agustus, realisasi penyaluran baru mencapai 239.600 ton, atau hanya 15,97 persen dari target 1,3 juta ton tahun ini. Khudori menyebut operasi pasar SPHP "tidak nendang" karena jumlahnya terlalu kecil, sehingga tidak mampu menekan harga beras yang terus merangkak naik. Ia juga menyoroti persaingan perebutan gabah antara Bulog dan pedagang, di mana skema maklun dengan penggilingan padi membuat Bulog cenderung menang, sehingga menekan harga gabah.
Faktor lain yang turut berkontribusi adalah penurunan surplus beras pada musim gadu Juni-September. Berdasarkan data BPS Juni 2025, surplus beras pada Juli hanya 0,22 juta ton, Agustus 0,48 juta ton, dan September 0,56 juta ton; jauh di bawah surplus Maret dan April yang masing-masing mencapai 2,64 juta ton. Berdasarkan Panel Harga Bapanas pada 16.09 WIB, harga beras premium masih mencapai Rp 16.087 per kg (7,97 persen di atas HET), sementara harga beras medium mencapai Rp 14.219 per kg (13,75 persen di atas HET).

0 Komentar