Pemerintah berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 1,2 triliun akibat sekitar 100.000 ton beras milik Perum Bulog yang diperkirakan tidak layak konsumsi. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, memproyeksikan jumlah beras yang harus dibuang (disposal) bahkan bisa melebihi angka tersebut. Penyebab utama penurunan kualitas beras ini adalah penyimpanan yang terlalu lama, terutama beras impor sisa tahun lalu yang merupakan carry over.
Andreas menjelaskan bahwa beras-beras tersebut berasal dari stok impor tahun 2024, sehingga sudah disimpan lebih dari satu tahun. Kondisi ini diperparah jika beras tersebut telah disimpan dalam jangka waktu lama di negara asal sebelum dikirim ke Indonesia. Meskipun secara fisik mungkin masih tampak baik, kualitas rasa dan layak konsumsi sudah dipertanyakan.
Selain masalah penyimpanan, Andreas juga mengkritik kebijakan Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang menghilangkan ketentuan kualitas dalam penyerapan Gabah Kering Panen (GKP). Penggantian ketentuan tersebut dengan penetapan Harga Pokok Pembelian (HPP) Rp 6.500 per kg untuk semua kualitas GKP (any quality) dinilai berdampak pada kualitas beras yang dihasilkan. Ia menekankan bahwa kebijakan ini, bersamaan dengan stok beras impor yang sudah tua, menjadi dua sumber utama penyebab meningkatnya jumlah beras yang tidak layak konsumsi.
Dengan demikian, permasalahan beras Bulog yang tak layak konsumsi ini tidak hanya disebabkan oleh faktor penyimpanan, tetapi juga kebijakan penyerapan gabah yang kurang memperhatikan kualitas. Kerugian besar yang ditimbulkan mengharuskan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan dan sistem pengelolaan beras nasional guna mencegah kejadian serupa di masa mendatang.

0 Komentar