2.Jaga Ketertiban: Dilarang membawa senjata atau benda berbahaya.
3.Hormati Batas Waktu & Lokasi: Aksi di tempat umum dibatasi dari pukul 06.00 hingga 18.00. Hindari area terlarang seperti lingkungan Istana, rumah sakit, dan tempat ibadah. Aturan Main untuk Aparat Kepolisian (Kewenangan & Batasannya) Aparat tidak bertugas untuk membubarkan, tetapi untuk mengamankan dan melayani. Aturan bagi mereka tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Dalmas). Apa yang WAJIB Dilakukan Aparat: Melindungi dan Melayani: Polisi wajib memberikan perlindungan keamanan kepada peserta aksi, bukan memusuhi. Sikap Persuasif dan Humanis: Pendekatan pertama dan utama harus selalu persuasif, negosiatif, dan tanpa kekerasan. Menghormati HAM: Aparat dilarang keras melakukan tindakan kekerasan, pelecehan, atau merendahkan martabat peserta aksi. Menggunakan Kekuatan secara Proporsional (Bertahap): Jika situasi memanas, penggunaan kekuatan harus mengikuti eskalasi yang sangat ketat, mulai dari peringatan lisan, kendali tangan kosong, hingga penggunaan alat bantu seperti tameng dan gas air mata sebagai opsi paling terakhir. Apa yang DILARANG Keras Dilakukan Aparat: Menggunakan Senjata Api: Aparat yang bertugas dalam pengendalian massa DILARANG KERAS membawa dan menggunakan senjata api. Melakukan Tindakan Kekerasan: Dilarang memukul, menendang, atau melakukan kekerasan fisik terhadap massa aksi yang tidak melakukan perlawanan aktif. Membubarkan Aksi Secara Sewenang-wenang: Pembubaran paksa hanya boleh dilakukan jika aksi sudah jelas-jelas anarkis, melanggar hukum secara serius, atau telah melewati batas waktu yang ditentukan (setelah pukul 18.00) dan telah melalui tahap negosiasi. Mengejar Massa hingga ke Tempat Berlindung: Dilarang mengejar massa aksi yang sudah membubarkan diri hingga masuk ke dalam area kampus, rumah ibadah, atau rumah sakit. Bagian 2: Strategi Benteng Manusia – Mengamankan Aksi dari Dalam Ancaman terbesar seringkali datang dari penyusup yang menyamar di tengah kerumunan. Untuk melawannya, massa aksi harus bertransformasi dari sekadar kerumunan menjadi organisme yang cerdas dengan sistem pertahanan diri. A. Bentuk Garda Aksi Damai (Tim Keamanan Internal) Setiap aliansi harus membentuk tim khusus yang bertugas bukan untuk berorasi, melainkan untuk mengamankan barisan. Tugas:Menyebar di titik-titik rawan (pinggir barisan, belakang massa, dan dekat fasilitas publik) untuk melakukan pemantauan. Identitas:Gunakan tanda pengenal yang jelas (misal: pita lengan) agar mudah dikenali oleh massa. B. Kenali Tanda-tanda Penyusup Provokator Latih "mata" Anda dan tim untuk mengidentifikasi perilaku mencurigakan: Terlalu Agresif: Merekalah yang pertama kali meneriakkan yel-yel kekerasan atau melempar benda. Tidak Fokus: Mata mereka sibuk mengamati sekeliling, bukan menyimak orasi. Anonim & Terisolasi: Tidak beratribut jelas dan bergerak dalam kelompok kecil yang tidak membaur. C. Protokol Aksi: Isolasi, Bukan Konfrontasi Jika Anda melihat provokator, jangan pernah main hakim sendiri. Terapkan protokol aman berikut:
1. JANGAN TERPROVOKASI: Ini adalah pertahanan terkuat Anda.
2. ISOLASI DENGAN JARAK: Ajak massa di sekitar untuk mundur perlahan, menciptakan ruang kosong di sekeliling oknum agar ia terekspos.
3. LAPORKAN KE KORLAP: Beri tahu Koordinator Lapangan atau Garda Aksi Damai. Biarkan mereka yang terlatih untuk menangani secara terstruktur.
4. DOKUMENTASIKAN: Jika aman, ambil foto atau video sebagai barang bukti. --- Bagian 3: Kritik untuk Aparat – Lindungi Aset Publik, Bukan Hanya Gedung Kekuasaan Keamanan sebuah aksi adalah tanggung jawab bersama, termasuk aparat kepolisian. Namun, strategi yang diterapkan seringkali keliru dan justru membuka celah bagi perusuh. A. Kegagalan Intelijen: Mengapa Halte Masih Bisa Terbakar?
Peran intelijen seharusnya adalah deteksi dini terhadap potensi kerusuhan, bukan sekadar mengawasi massa. Jika fasilitas publik sampai hancur, ini menandakan sebuah kegagalan sistemik. Pertanyaan kritisnya adalah: Apakah informasi intelijen diabaikan, atau lebih buruk lagi, apakah kerusuhan justru dibiarkan terjadi untuk mendelegitimasi aksi damai? B. Pergeseran Paradigma yang Mendesak Polisi harus berhenti melihat demonstran sebagai satu-satunya ancaman dan mulai melihat fasilitas publik sebagai aset rakyat yang wajib dilindungi. Alihkan Fokus: Tempatkan regu khusus untuk menjaga halte, taman, dan properti publik lainnya, bukan hanya membentuk barikade di depan gedung pemerintahan. Tindakan Presisi: Gunakan data intelijen untuk menangkap kelompok provokator secara spesifik, bukan membubarkan seluruh massa dengan gas air mata secara pukul rata. Ukur Keberhasilan dengan Benar: Keberhasilan pengamanan bukanlah seberapa cepat massa bubar, melainkan apakah aksi selesai tanpa ada korban luka dan fasilitas yang rusak. C. Lawan Narasi "Demo Anarkis" Penting bagi publik, media, dan aparat untuk membedakan dua peristiwa: aksi damai yang selesai pukul 18.00 dan tindak pidana perusakan oleh oknum tak dikenal pada pukul 21.00. Menggabungkan keduanya dalam narasi "demo berujung ricuh" adalah sebuah pembingkaian yang tidak adil dan membunuh substansi demokrasi. D. Tanggung Jawab Tidak Selesai Pukul 18.00: Pentingnya Pengamanan Pasca-Aksi Inilah titik kritis yang sering diabaikan. Tugas aparat keamanan tidak selesai begitu massa aksi resmi membubarkan diri. Justru, jam-jam setelah pukul 18.00 adalah periode paling rawan. Ruang kosong yang ditinggalkan massa aksi menjadi panggung ideal bagi para penyusup oportunis untuk melancarkan aksinya tanpa bisa lagi dikontrol oleh korlap. Polisi harus memiliki protokol pengamanan pasca-aksi yang jelas. Harus ada patroli dan penjagaan aktif di titik-titik rawan (seperti halte dan fasilitas umum lainnya) setidaknya selama beberapa jam setelah massa bubar. Membiarkan area tersebut kosong tanpa pengawasan adalah sebuah kelalaian yang secara tidak langsung memfasilitasi terjadinya perusakan. Keamanan kota adalah tanggung jawab 24 jam, tidak berhenti hanya karena orator terakhir telah turun dari mobil komando. Kesimpulan: Menjadi demonstran yang cerdas berarti memahami hak, menjalankan kewajiban, dan secara proaktif melindungi barisan dari dalam. Di saat yang sama, kita harus terus menuntut aparat keamanan untuk menjalankan tugasnya dengan benar: melayani hak konstitusional warga, melindungi setiap jengkal aset milik publik, dan memastikan keamanan kota tidak hanya terjaga saat aksi berlangsung, tetapi juga setelahnya.
0 Komentar