Sebuah riset terbaru menunjukkan pergeseran signifikan dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) pada tahun 2025. Bukan lagi sekadar alat untuk menghasilkan ide atau pencarian teknis, AI kini lebih banyak digunakan sebagai teman curhat, sarana terapi emosional, dan bahkan pencari makna hidup.
Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Nanyang Technological University Singapura, Ang Peng Hwa, dalam Information Resilience and Integrity Symposium (IRIS) di Universitas Gadah Mada (UGM). Ang menuturkan, "Apa tujuan hidup saya? Saya tidak mencarinya di Alkitab, tidak mencarinya di Al-Qur’an, melainkan bertanya kepada AI." Menurutnya, tiga fungsi teratas AI di 2025 adalah terapi dan teman curhat, pengorganisasian hidup, dan pencarian tujuan hidup. Data ini berasal dari riset di Amerika Serikat yang diterbitkan di Harvard Business Review tahun 2025. Pergeseran ini kontras dengan tahun 2024, di mana penggunaan AI lebih beragam, dengan pembuatan ide dan pencarian spesifik sebagai fungsi utama.
Senada dengan Ang, Sekretaris Eksekutif Center for Digital Society (CfDS) UGM, Syaifa Tania, mengamati fenomena meningkatnya penggunaan AI sebagai tempat curhat. Namun, ia juga menyoroti tantangan yang muncul dari tren ini, terutama terkait eksposur data pribadi pengguna. "Ada fenomena baru terkait banyak orang yang curhat di AI. Ini menghadirkan tantangan karena kita mengekspos banyak data pribadi, informasi personal," ujar Tania.
Simposium IRIS 2025 sendiri membahas berbagai isu krusial terkait penggunaan AI, termasuk deepfake untuk penipuan finansial, pengawasan dan privasi dalam pembangunan digital, serta peran informasi dalam ketahanan demokrasi. Acara ini dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri, dan Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM Wening Udasmoro.

0 Komentar