Para pemilik kafe di Korea Selatan, khususnya di daerah elit seperti Daechi, tengah menghadapi dilema. Kedai-kedai kopi mereka dipadati oleh "Cagongjok," istilah untuk para pelajar dan pekerja muda Korea Selatan yang menjadikan kafe sebagai ruang belajar atau bekerja. Namun, kehadiran mereka yang kerap berlama-lama menimbulkan masalah bagi bisnis.
Hyun Sung-joo, pemilik salah satu kafe di Daechi, menceritakan pengalamannya dengan seorang pelanggan yang menghabiskan seharian penuh di kafenya dengan dua laptop dan stop kontak enam port. "Saya akhirnya memblokir stop kontak," ujarnya kepada BBC. Tingginya biaya sewa di Daechi membuat hal ini menjadi masalah besar bagi bisnisnya. Fenomena Cagongjok ini memang marak di Korea Selatan, terutama di area dengan banyak mahasiswa dan pekerja kantoran. Jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara Barat seperti Inggris, di mana pelajar biasanya belajar di tengah-tengah suasana sosial yang lebih aktif.
Starbucks Korea bahkan mengeluarkan pedoman baru untuk mengatasi kasus-kasus ekstrem, seperti penggunaan monitor desktop, printer, hingga pembatas meja pribadi yang dilakukan beberapa pelanggan. Meskipun demikian, Starbucks menegaskan tidak akan meminta pelanggan untuk pergi, melainkan memberikan "bimbingan" jika diperlukan. Pedoman ini juga dilatarbelakangi oleh insiden pencurian yang terjadi ketika pelanggan meninggalkan barang-barang mereka tanpa pengawasan.
Reaksi terhadap kebijakan Starbucks beragam. Sebagian besar menyambut baik kebijakan ini sebagai langkah untuk mengembalikan fungsi kafe sebagai tempat bersantai dan berbincang. Namun, sebagian lainnya mengkritik kebijakan ini sebagai intervensi yang berlebihan, mengingat Starbucks sebelumnya dikenal dengan pendekatannya yang lebih permisif.
Perdebatan publik mengenai Cagongjok ini telah berlangsung sejak tren ini muncul pada tahun 2010, seiring dengan pertumbuhan kedai kopi waralaba di Korea Selatan. Jumlah kedai kopi di negara ini meningkat 48% dalam lima tahun terakhir, mendekati 100.000. Sebuah survei terhadap pencari kerja Gen Z menunjukkan bahwa 70% dari mereka belajar di kafe setidaknya sekali seminggu.
Berbagai pendekatan diterapkan oleh pemilik kafe independen dalam menangani masalah ini. Beberapa kafe bahkan menyediakan fasilitas khusus untuk Cagongjok, seperti stop kontak tambahan dan meja individual. Namun, beberapa lainnya menerapkan kebijakan lebih ketat, seperti zona larangan belajar atau batasan waktu belajar.
Di balik fenomena ini, terungkap alasan mengapa banyak orang Korea Selatan lebih memilih belajar atau bekerja di kafe ketimbang perpustakaan atau ruang kerja bersama. Beberapa individu merasa kafe memberikan rasa aman dan nyaman, terutama bagi mereka yang memiliki latar belakang sulit. Professor Choi Ra-young dari Universitas Ansan berpendapat bahwa Cagongjok merupakan produk dari masyarakat Korea Selatan yang sangat kompetitif, di mana para pemuda berada di bawah tekanan akademis, ketidakpastian pekerjaan, dan kondisi tempat tinggal yang kurang memadai. Ia menyarankan perlunya penciptaan ruang publik yang lebih inklusif untuk mengakomodasi budaya ini.

0 Komentar