Sepuluh tahun setelah peluncuran sistem petisi daring parlemen Inggris, antusiasme masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui petisi tetap tinggi. Data survei Office for National Statistics tahun 2022 menunjukkan bahwa 57% responden pernah menandatangani petisi dalam setahun terakhir. Fenomena ini menunjukkan daya tahan tradisi petisi, bahkan di era digital.
Sistem petisi daring, yang diawali oleh situs e-petisi Downing Street pada tahun 2006, awalnya dibanjiri petisi-petisi jenaka. Petisi yang menyerukan Jeremy Clarkson menjadi Perdana Menteri, misalnya, menarik lebih dari 50.000 tanda tangan. Meskipun demikian, tanggapan pemerintah kala itu dianggap sebagai pemborosan uang pajak. Seiring berjalannya waktu, aturan diperketat dan petisi-petisi yang masuk akal diprioritaskan.
Pada tahun 2015, sebuah komite parlemen dibentuk untuk memilih petisi yang akan dibahas di Westminster Hall, dengan syarat minimal 100.000 tanda tangan. Walaupun tidak mengikat secara hukum, debat-debat ini memberikan tekanan pada pemerintah. Sejumlah petisi yang unik dan penting pernah diajukan, mulai dari permintaan agar jalan raya menampilkan gambar bola sepak yang secara geometris akurat hingga usulan menjadikan Eurovision Song Contest sebagai hari libur nasional.
Salah satu keberhasilan nyata petisi daring adalah "Finn's Law". Petisi ini, yang diluncurkan untuk anjing polisi German Shepherd bernama Finn yang terluka parah saat bertugas, berhasil mengumpulkan 130.000 tanda tangan dalam 11 hari dan menghasilkan Animal Welfare (Service Animals) Act 2019. Petisi ini membuktikan bahwa petisi daring mampu memicu perubahan nyata dalam hukum.
Meskipun sejumlah petisi besar, seperti petisi penolakan kunjungan kenegaraan Donald Trump ke Inggris dan petisi-petisi terkait Brexit, berhasil mengumpulkan jutaan tanda tangan, tidak semua menghasilkan perubahan kebijakan yang diinginkan. Hal ini menyebabkan beberapa orang pesimis, bahkan menyerukan penutupan sistem petisi daring. Namun, Ketua Komite Petisi, Jamie Stone, membela sistem tersebut, menekankan perannya sebagai jembatan antara publik dan parlemen.
Tradisi petisi jenaka tetap berlanjut. Mulai dari permintaan agar anggota parlemen berhenti tertawa di parlemen hingga petisi yang meminta pemerintah mengatakan "kebenaran" tentang Sinterklas, menunjukkan bahwa petisi daring tetap menjadi media ekspresi masyarakat, baik serius maupun jenaka. Hal ini juga mencerminkan bagaimana mekanisme keterlibatan publik dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda, dari sebagai sarana perubahan hingga sekadar hiburan.

0 Komentar