Ahn Hak-sop, mantan tawanan perang Korea Utara berusia 95 tahun, melakukan upaya terakhir untuk kembali ke tanah kelahirannya. Ia ingin dimakamkan di Korea Utara setelah menghabiskan sebagian besar hidupnya di Selatan, banyak di antaranya secara terpaksa. Upaya tersebut, yang ia sebut sebagai perjalanan terakhirnya, dilakukan pada pagi hari yang terik di Stasiun Imjingang, stasiun terakhir jalur kereta bawah tanah Seoul yang paling dekat dengan perbatasan Korea Utara.
Diiringi puluhan aktivis dan petugas polisi, Ahn memulai perjalanannya menuju Jembatan Unifikasi (Tongil Dae-gyo), satu-satunya jalur penghubung antara Korea Selatan dan Utara. Namun, karena kondisi kesehatannya yang menurun akibat edema paru, ia hanya mampu berjalan sejauh 200 meter dari stasiun sebelum harus dibantu oleh dua pendukungnya. Walaupun tidak berhasil menyeberangi perbatasan—karena pemerintah Korea Selatan menyatakan tidak memiliki cukup waktu untuk mempersiapkannya—Ahn tetap teguh pendirian. Ia kembali dengan membawa bendera Korea Utara, pemandangan yang langka dan mengejutkan di Korea Selatan, dan menyampaikan keinginannya kepada para wartawan dan relawan yang mendukungnya: "Saya hanya ingin tubuh saya beristirahat di tanah yang benar-benar merdeka, tanah yang bebas dari imperialisme."
Kisah Ahn dimulai pada tahun 1953 ketika ia, seorang perwira penghubung Tentara Rakyat Korea Utara, ditangkap di usia 23 tahun. Ia tertangkap tiga bulan sebelum gencatan senjata berakhir. Ia percaya propaganda Korea Utara yang menyatakan bahwa Korea Selatan memulai perang tahun 1950, dan bergabung dengan tentara Korea Utara pada tahun 1952. Setelah dipenjara selama lebih dari 42 tahun, ia dibebaskan berkat amnesti khusus pada hari kemerdekaan Korea.
Setelah dibebaskan, Ahn menghadapi kesulitan mencari pekerjaan dan selalu merasa tidak diterima di masyarakat Korea Selatan, yang mencapnya sebagai "redhead" (berhaluan komunis). Meskipun sempat menolak kesempatan untuk kembali ke Utara pada tahun 2000 karena kekhawatiran akan dominasi AS di Korea Selatan, keyakinannya pada propaganda rezim Kim tetap teguh. Ia meyakini bahwa aliansi AS-Korea Selatan menghalangi reunifikasi semenanjung Korea.
Ahn tumbuh dalam masa penjajahan Jepang di semenanjung Korea, dan melihat kemerdekaan Korea sebagai pergantian penguasa kolonial. Ia menolak untuk menandatangani dokumen yang menyatakan penolakannya terhadap ideologi komunis selama masa penahanannya, bahkan menghadapi penyiksaan. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korea Selatan telah mengakui adanya upaya paksa konversi ideologi yang disertai penyiksaan.
Meskipun Korea Utara telah berubah drastis sejak kepergiannya, termasuk mengalami kelaparan hebat pada tahun 1990-an, Ahn tetap membela rezim Kim. Ia menolak klaim pelanggaran HAM di Korea Utara dan mendukung intervensi militer Korea Utara di Ukraina. Ia meninggalkannya dengan keyakinan yang tak tergoyahkan: ia tidak ingin dimakamkan di bawah "penjajahan Amerika." Kisah Ahn Hak-sop mencerminkan kompleksitas sejarah dan politik semenanjung Korea, dan keteguhan seorang individu dalam keyakinannya.

0 Komentar