Lima jurnalis Al Jazeera tewas akibat serangan Israel di Gaza City pada Minggu (10/8). Korban tewas saat bekerja di dalam tenda yang menjadi target serangan. Insiden ini memicu kecaman keras dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Aliansi Rakyat Indonesia Bela Palestina (ARI-BP).
Dalam acara 'Solidaritas Media untuk Gaza' yang digelar oleh ARI-BP, Oke Setiadi, anggota Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, menyatakan bahwa pembunuhan terhadap jurnalis adalah upaya Israel untuk menutupi kejahatannya di Gaza. "Ini membuktikan kegagalan penjajah untuk membungkam kebenaran yang terjadi di Gaza, yaitu genosida, kekejaman, dan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan," tegas Oke di Jakarta, Kamis (14/8).
MUI juga mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah nyata dalam menghentikan pembantaian di Gaza. "Kami tidak bisa diam melihat pelanggaran kemanusiaan ini. Harapannya ada tindakan lebih tegas, baik melalui hukum internasional," tambahnya.
Zaitun Rasmin, Ketua Komite Pelaksana ARI-BP, menilai bahwa serangan ini menunjukkan upaya Israel untuk membatasi pemberitaan tentang situasi di Gaza. "Mereka tidak hanya membantai, tetapi juga ingin memblokir informasi yang mengekspos kekejaman mereka," ujarnya.
Zaitun mengajak semua pihak untuk terus bersuara mendukung perlindungan jurnalis di Gaza. Menurut data, lebih dari 300 wartawan telah tewas di Gaza sejak Oktober 2023. "Mari tunjukkan solidaritas dan bersatu dalam aksi untuk menyampaikan suara kita," serunya.
Kelima jurnalis yang tewas dalam serangan tersebut adalah Anas Al-Sharif (28), Mohammed Qreiqeh (33), Ibrahim Zaher (25), Mohammad Noufal (29), dan Moamen Aliwa (23). Tragedi ini kembali menyoroti risiko tinggi yang dihadapi para jurnalis dalam meliput konflik di Gaza.

0 Komentar